Minggu, 24 Mei 2009

TATAP MATA IBU, NAK..

Bagaimana Mendeteksi Gejala Autis pada Anak

Anak perempuan itu menolak tatapan mata saya dan langsung melihat ke arah lain. Ekspresi mukanya datar dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan kata-kata yang tidak beraturan. "Ya Tuhan,"saya berdoa dalam hati saya,"Mengapa anak semanis ini harus mengalami autis?"

Bekerja sebagai seorang psikolog klinis anak, saya harus membiasakan diri menegakkan suatu diagnosa yang sebenarnya saya sendiri enggan melakukannya. Oh ya, saya sangat senang ketika mengabarkan kepada orang tua bahwa anak mereka memiliki IQ sebesar 150. Hal yang berbeda terjadi saat saya harus menyampaikan kabar bahwa anak mereka mengalami autisme. Dipandang dari sudut profesionalitas, mungkin orang-orang akan mengkritik saya sebagai seorang psikolog yang terlalu melibatkan perasaan dalam pemeriksaan terhadap pasien-pasien cilik di klinik tumbuh kembang anak tempat saya bekerja. Bagaimanapun, tidak mudah menghadapi reaksi orang tua yang terkejut, menangis, bahkan tidak mau menerima kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami autis.

Saat ini gangguan autisme yang dikenal dengan nama Autistic Spectrum Disorder (ASD) telah merebak menjadi sebuah epidemi di banyak negara. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang penanganan Autis di Amerika membuat pernyataan yang mengagetkan bahwa 1 dari 150 anak terdiagnosa autis. Ini adalah data yang fantastis sekaligus memprihatinkan semua pihak. Di Indonesia sendiri, data terakhir yang diperoleh adalah dari tahun 2004 yang mencatat sebanyak 475.000 anak didiagnosa mengalami autis.
Hampir semua orang mempertanyakan apa yang menjadi penyebab gangguan perkembangan yang menyebabkan seorang anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia seolah-olah terisolasi dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah 'autis' sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'didalam diri sendiri'. Gangguan ini mulai dideteksi oleh Leo Kanner pada tahun 1943 dan sampai saat ini penelitian mengenai penyebab dan cara menanganinya masih terus berlanjut.

Misteri yang Belum Terpecahkan

"Bagaimana mungkin anak saya autis? Apa penyebabnya, bu? Apakah semua ini salah saya?" pertanyaan ini sangat sering dilontarkan orang tua kepada saya. Menenangkan orang tua yang mengalami shock merupakan kewajiban saya sebagai seorang profesional. "Ibu tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sampai saat ini penyebab autis masih menjadi tanda tanya besar." Bukannya bermaksud memberikan sekedar 'angin surga' kepada orang tua namun pada faktanya memang sampai saat ini belum ada satu hasil penelitianpun yang secara tegas menyimpulkan penyebab tunggal dari gangguan yang mengerikan ini.

Diperkirakan salah satu penyebab autis adalah faktor genetik, hal ini terbukti dari lebih besarnya jumlah penyandang autis pria dibanding wanita. Selain itu, perkiraan lain mengatakan bahwa autis disebabkan oleh keracunan logam berat. Hal ini mungkin terjadi karena ibu makan sea food yang sudah tercemar logam berat atau melakukan tambal gigi yang mengandung amalgam. Seorang dokter yang mendalami bidang autis pernah mengemukakan dalam seminar bahwa sebaiknya saat mengandung ibu-ibu tidak menggunakan make up sama sekali. Hal ini adalah untuk menghindari kemungkinan terpaparnya janin dalam kandungan terhadap merkuri yang mungkin terdapat dalam kosmetik yang digunakan. Ada pula yang memperkirakan bahwa banyaknya jenis vaksinasi yang diterima oleh bayi menyebabkan masuknya merkuri dalam jumlah besar ke dalam tubuh anak pada usia terlalu dini. Hal ini disebabkan karena sebagian besar vaksin yang digunakan menggunakan thimerosal (etil merkuri) sebagai bahan pengawetnya. Akibatnya, untuk anak-anak yang rentan kemungkinan akan memperlihatkan gejala autis yang disebabkan karena keracunan logam berat.

Kenalilah Gejala Autis Sedini Mungkin!

Sangatlah penting bagi orang tua untuk mengenali gejala yang ada pada gangguan ini. You are your child's first doctor. Karakteristik seorang anak yang mengalami autis ditandai dengan 3 hal. Pertama, anak tidak mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia cenderung menolak menatap mata lawan bicaranya dan memilih melihat ke arah lain saat diajak berbicara. Saat merasa senang atau sedih, ekspresi mukanya tetap datar dan tidak mengalami perubahan. Biasanya orang tua merasa frustasi karena anak mereka tidak bisa diajak bermain ci luk ba, menolak untuk dipeluk, dan hampir tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang tuanya.
Kedua, anak mengalami keterlambatan bicara atau bahkan sama sekali tidak bisa berbicara. Batas usia yang diberikan para ahli untuk mentoleransi seorang anak mengucapkan kata pertamanya adalah 18 bulan. Pada perkembangannya di usia 2 tahun anak minimal dapat mengucapkan sebuah kalimat yang terdiri dari 2 kata, sesederhana apapun itu. Pada anak yang mengalami autis, sekalipun ia dapat berbicara, biasanya kata-katanya tidak jelas (sering dikenal dengan istilah bahasa planet) atau tidak sesuai dengan konteks pembicaraan.

Ketiga, anak tampak sering melakukan rutinitas yang berulang atau sangat menyukai benda tertentu secara berlebihan. Hellen (bukan nama sebenarnya), menjerit-jerit saat ibu tidak menghidangkan sarapan paginya menggunakan piring merah muda dengan pola bunga-bunga di sekeliling piringnya. Ia juga tidak mau makan saat posisi piring, garpu, dan sendok tidak tertata secara simetris seperti biasanya. Selain memiliki pola rutinitas yang sangat kaku, anak yang mengalami autis biasanya bermain secara aneh terus menerus. Kasus yang sering dijumpai adalah mereka senang sekali memutar roda mobil-mobilannya dalam waktu yang lama, berjam-jam melihat kipas angin yang berputar, atau menyusun mainannya dalam pola yang berulang. Ada pula anak yang sangat senang benda yang berwarna hijau dan terus menerus merengek agar ia dapat memegang sebuah stabilo hijau selama menjalani terapi.

Gejala yang paling mudah dikenali dari autisme adalah minimnya kontak mata anak terhadap lawan bicaranya. Gejala lain yang juga mudah dikenali adalah apabila anak mengalami keterlambatan bicara. Bagaimanapun, untuk gejala yang kedua ini, orang tua perlu berhati-hati. Tidak semua anak yang terlambat bicara pasti mengalami autis, namun terlambat bicara merupakan salah satu karakteristik autis.

Apa yang Harus Saya Lakukan?

Langkah pertama yang perlu ditempuh orang tua apabila mencurigai anaknya mengalami autis adalah dengan membawa anak tersebut pada ahli. Diagnosa autis dapat ditegakkan oleh seorang psikolog atau dokter melalui pemeriksaan yang terstandarisasi. Apabila anak mengalami autis, umumnya psikolog atau dokter akan menganjurkan orang tua untuk mengikutkan anak dalam terapi. Jenis dan jumlah jam terapi biasanya tergantung pada seberapa berat gangguan autis yang dialami anak. Umumnya jenis terapi yang perlu diikuti adalah terapi sensori intrgrasi, perilaku, dan wicara. Tidak sedikit pula anak yang perlu menjalani farmakoterapi, yaitu pemberian obat tertentu oleh dokter. Pastikan tempat terapi memiliki program dan sistem evaluasi yang baik untuk memantau kemajuan anak.

Selain terapi, anak yang mengalami autis juga perlu menjalani diet. Diet yang tepat akan 'mempersiapkan' tubuh anak menerima materi terapi. Tanpa diet, terapi yang dilakukan akan menjadi kurang efektif. Umumnya, diet yang harus dijalani adalah dengan menghindari makanan yang mengandung kasein dan gluten. Hal ini termasuk salah satu tugas terberat orang tua. Karena tidaklah mudah menahan anak mengkonsumsi makanan yang mengandung kasein seperti susu, mentega, es krim, coklat, dan yogurt. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sulit menahan dirinya untuk tidak mengkonsumsi coklat. Belum lagi makanan yang mengandung gluten yang umumnya terdapat dalam tepung terigu. Makanan seperti roti, biskuit, mi, makaroni, spagheti, dan segala sesuatu yang berasal dari terigu wajib dihindari. Bagaimanapun tidak semua anak yang terdiagnosa autis harus menghindari semua jenis makanan tersebut. Untuk mengetahui secara spesifik jenis makanan apa yang harus dihindari anak, dapat diadakan tes alergi.

Dalam melakukan penanganan, orang tua perlu bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait dengan anak, seperti: psikolog, dokter, terapis, guru, dan seluruh anggota keluarga. Bahkan, sangatlah penting untuk melatih pengasuh anak agar ikut melatih anak di rumah.

WHA ke-62 Lahirkan Resolusi Untuk Lanjutkan Pembahasan Virus Sharing

Jenewa, 22 Mei 2009 - World Health Assembly ke-62 menyepakati Resolusi baru yang memutuskan untuk melanjutkan proses yang transparan untuk memfinalisasi butir-butir yang belum disepakati yang masih tersisa dalam Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin dan Manfaat Lainnya, termasuk Standard Material Agreement (SMTA), yang harus diselesaikan selambat-lambatnya Januari 2010. Resolusi tersebut menyatakan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM PIP) akan menjadi bagian dari perjanjian pokok tentang mekanisme baru virus sharing, yang menjadikan benefit sharing sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan.

Resolusi yang dipelopori Indonesia dan diajukan oleh delegasi-delegasi dari Argentina, Bangladesh, Bhutan, Brazil, Cili, Kuba – mewakili negara anggota Gerakan Non-Blok, Ghana – mewakili wilayah Afrika, Guatemala, India, Indonesia, Iran, Maldives, Myanmar, Nigeria, Sri Lanka, Timor-Leste dan Venezuela, telah mempercayakan Direktur Jenderal WHO untuk melakukan proses pembahasan lanjutan yang transparan dan berimbang antara negara-negara maju dan berkembang.

Resolusi juga mengakui bahwa IGM PIP telah menyepakati sebagian besar butir-butir pada Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin dan Manfaat Lainnya, dan menyatakan kembali pentingnya solusi jangka panjang untuk kesiapan dan respon terhadap pandemi influenza.

Menurut anggota delegasi Indonesia dan diplomat senior Dr. Makarim Wibisono tercapainya Resolusi yang mengakui kesepakatan-kesepakatan dalam proses perundingan IGM-PIP selama dua tahun terakhir ini mencerminkan solidaritas negara negara pendukung dan tekad kuat serta desakan yang tidak kenal lelah dan kepemimpinan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Sementara anggota delegasi Dr. Widjaja Lukito, Ph.D., Sp. GK berpendapat Resolusi ini menandakan kemajuan signifikan dalam perjuangan gigih Indonesia menuju pada kesepakatan dunia di bidang kesehatan khususnya virus sharing dan benefit sharing yang lebih adil, transparan dan setara.

Direktur Jenderal WHO diminta didalam Resolusi WHA ke 62 itu, untuk bekerja sama dengan negara-negara anggota untuk mendorong kemajuan pembahasan atas dasar hal-hal yang telah disepakati dari Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin serta Manfaat Lainnya. Direktur Jendral WHO berkewajiban memfasilitasi proses pembahasan yang transparan untuk memfinalisasi elemen-elemen penting termasuk Standard Material Agreement (SMTA) juga unsur-unsur di dalam annex SMTA, lalu melaporkan hasilnya pada Sidang Executive Board WHO ke 126 pada bulan Januari 2010.

Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, SpJp (K), sebagai inisiator konsep mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara serta mengintegrasikan benefit sharing ini, menyambut baik resolusi tersebut sebagai pencapaian mulia dalam dunia kesehatan dan pengobatan, dengan dicapainya langkah maju untuk meraih tatanan kesehatan publik global yang lebih baik.

Tentang Standard Material Transfer Agreement
Standard Material Transfer Agreement (SMTA) jika berlaku akan mengubah mekanisme virus sharing yang saat ini berlaku menjadi mekanisme yang berbasis keadilan, transparansi dan kesetaraan. SMTA akan membuka akses dan transparansi pada informasi tentang virus influenza, yang akan membuka pintu bagi para ilmuwan di negara maju dan berkembang untuk melakukan riset dan membangun kapasitas untuk memproduksi vaksin, antivirus dan diagnostik. SMTA juga mengandung aturan-aturan tentang benefit sharing ketika hasil dari riset yang menggunakan sampel-sampel yang disalurkan dalam sistem ini dikomersialkan.

Tentang World Health Assembly
World Health Assembly (WHA) merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss. WHA ke-62 diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 18-22 Mei 2009.

Tentang Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness
Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing yang timbul dari pemanfaatan virus dan bagian-bagiannya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-522 3002, 5296 0661 atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id dan puskom.depkes@gmail.com